Buras Khas Bugis Makanan Tradisi yang Tak Pernah Hilang
![]() |
Buras Khas Bugis |
Makanan khas Bugis buras adalah salah satu kuliner tradisional Sulawesi Selatan yang wajib kamu kenal, apalagi kalau kamu suka eksplor makanan unik khas daerah. Pernah coba. Atau malah buras udah jadi menu andalan di meja makan saat Lebaran di rumah kamu.
Sekilas, buras memang mirip lontong. Tapi sebenarnya, buras punya ciri khas yang bikin beda banget, mulai dari teksturnya yang lebih padat, rasa gurih karena dimasak pakai santan, sampai aroma khas dari daun pisang yang membungkusnya. Nggak heran kalau makanan tradisional Bugis ini selalu dicari, apalagi menjelang hari raya.
Nah, di artikel ini kita bakal bahas tuntas tentang buras. Yuk, lanjut baca dan siap-siap makin kenal sama si buras yang bukan sekadar lontong biasa ini.
Apa Itu Buras?
Makanan khas Bugis buras adalah salah satu jenis panganan yang bentuknya mirip lontong, tapi jelas beda cerita. Buras biasanya berbentuk silinder agak pipih, dibungkus dua lapis daun pisang, dan diikat pakai tali rafia atau benang, dijadikan pasangan dua-dua, kayak sahabat sejati yang nggak pernah dipisahkan.
Bahan utamanya simpel, beras yang dimasak setengah matang dengan santan dan sedikit garam. Nah, santan inilah yang bikin rasanya jadi gurih dan teksturnya lebih padat dari lontong biasa. Kalau ketupat cenderung netral rasanya, buras justru punya aroma khas dari daun pisangnya yang makin keluar setelah dikukus lama. Pokoknya, sekali coba, susah berhenti.
Nama buras sendiri berasal dari kata "burasa" atau "burasak" dalam bahasa Bugis-Makassar. Artinya merujuk langsung ke cara membuat atau bentuk makanannya. Jadi, ini bukan nama julukan, tapi istilah lokal yang udah dipakai turun-temurun.
Kalau kamu pernah lihat atau bahkan makan buras, pasti langsung notice bentuknya yang khas dan aromanya yang menggoda. Biasanya disajikan bareng coto Makassar, opor ayam, atau sambal goreng ati. Dan jangan kaget kalau di hari Lebaran, buras hadir satu baskom besar, karena ini makanan wajib orang Bugis yang penuh makna dan tradisi.
Asal-Usul dan Sejarah Buras
Buras itu bukan cuma soal rasa, tapi juga cerita panjang tentang perjalanan, budaya, dan tradisi orang Bugis. Sejak dulu, masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka sering berlayar berhari-hari bahkan berminggu-minggu ke berbagai daerah. Nah, dari sinilah asal-usul buras mulai dikenal.
Karena butuh bekal makanan yang awet, praktis, dan tetap mengenyangkan selama di kapal, buras pun jadi solusi. Dibungkus rapat dengan daun pisang, dimasak pakai santan biar tahan lama, dan nggak gampang basi, buras jadi andalan para pelaut. Bahkan sampai sekarang, buras masih sering disebut sebagai bekal pelaut Bugis.
Yang menarik, di kampung-kampung Bugis, ada tradisi seru yang disebut ma’burasa, yaitu acara masak buras rame-rame, biasanya menjelang Lebaran. Para ibu, anak-anak gadis, sampai tetangga kadang ikut kumpul, masak, bungkus, dan kukus buras bareng-bareng. Nggak cuma soal makanan, tapi juga soal kebersamaan dan silaturahmi.
Seiring waktu, buras nggak cuma dinikmati di Sulawesi Selatan aja. Para perantau Bugis bawa tradisi ini ke mana-mana, mulai dari Kalimantan, Maluku, sampai Malaysia. Di beberapa daerah, buras juga dikenal dengan nama burasa atau buras, dan rasanya bisa sedikit berbeda tergantung bumbu lokal.
Jadi, setiap kali kamu makan buras, itu artinya kamu juga ikut menikmati warisan budaya dan semangat petualang orang Bugis dari masa lampau. Keren, kan.
Makna Filosofis dan Budaya di Balik Buras
Kalau kamu pikir buras cuma soal makanan, coba deh lihat lebih dalam. Di balik setiap gulungan buras, ada nilai-nilai budaya Bugis yang kuat banget, nggak cuma soal rasa, tapi juga filosofi hidup yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Orang Bugis punya tiga prinsip hidup utama:
- Sipakatau - saling memanusiakan
- Sipakalebbi - saling menghargai
- Sipakainge - saling mengingatkan
Nah, ketiga nilai ini nyatu dalam tradisi bikin buras. Proses membungkusnya yang butuh kerja sama, ngobrol bareng sambil melipat daun pisang, sampai masak rame-rame sebelum Lebaran, itu semua bukan sekadar kegiatan dapur, tapi cara mempererat hubungan. Semua ikut ambil bagian, dari anak gadis sampai nenek-nenek. Buras jadi simbol kebersamaan dan saling menghormati.
Makanya buras selalu hadir di momen-momen penting: Lebaran, pernikahan, hajatan keluarga, bahkan acara adat. Kehadirannya kayak tanda bahwa “kita kumpul, kita satu, kita saling jaga”.
Kadang, ada yang bilang buras itu lambang rasa syukur yang dibungkus cinta. Nggak heran kalau setiap gigitannya bikin hangat, bukan cuma di perut, tapi juga di hati.
Meskipun nggak ada cerita rakyat khusus tentang buras, tapi tradisi ma’burasa (masak buras bareng) sendiri udah jadi semacam legenda kecil di tiap keluarga Bugis. Anak-anak yang dulu bantu ibunya bungkus buras, sekarang ngajarin anak-anak mereka. Begitu terus, dari masa ke masa.
Buras vs Ketupat vs Lontong: Apa Bedanya?
Banyak orang yang baru kenal buras suka bilang, “Lho, ini lontong ya?” atau “Mirip ketupat nih.”
Padahal kalau kamu udah pernah cicipin ketiganya, pasti langsung bisa bedain, baik dari rasa, tekstur, sampai aromanya.
Pertama, buras itu dibuat dari beras yang dimasak dulu bareng santan dan garam, jadi rasanya gurih dari dalam, bukan sekadar tawar. Setelah itu, dibungkus dua lapis daun pisang, terus dikukus lama sampai padat. Bentuknya biasanya pipih memanjang, dan dibungkus berpasangan. Pas dibuka, wangi khas daun pisang langsung nyambut kamu. Auto bikin laper.
Sementara itu, ketupat lebih sering jadi teman makan yang netral. Dibuat dari beras biasa, dibungkus janur (daun kelapa muda), dan direbus dalam waktu lama. Bentuknya kotak karena dibungkus anyaman janur. Teksturnya lebih keras dibanding buras, dan rasanya cenderung hambar karena nggak pakai santan.
Nah, lontong juga mirip-mirip, tapi biasanya dibungkus daun pisang atau plastik, bentuknya panjang silinder. Isinya cuma beras, dimasak dengan cara direbus berjam-jam sampai padat. Rasanya pun cenderung polos, cocok buat jadi pelengkap opor atau sayur lodeh.
Jadi kesimpulannya:
- Buras: gurih banget karena dimasak dengan santan, teksturnya padat tapi lembut, aromanya khas daun pisang.
- Ketupat: teksturnya agak keras, rasanya netral, bungkusnya dari janur.
- Lontong: lebih lembut, tanpa santan, dan bungkusnya bisa daun atau plastik.
Kalau ketupat dan lontong ibarat nasi dalam bentuk lain, buras itu udah jadi makanan utuh. Gurih, wangi, dan cukup satu-dua potong aja buat bikin kenyang (dan bahagia).
Ragam Buras di Indonesia
Meskipun buras identik banget sama orang Bugis, ternyata makanan satu ini punya banyak versi. Dari kampung di Sulawesi Selatan sampai pasar tradisional di Kalimantan, buras hadir dengan rasa dan bentuk yang sedikit beda, tapi tetap mempertahankan ruh utamanya gurih, padat, dan dibungkus cinta.
Pertama tentu saja buras khas Bugis, versi paling klasik dan paling dikenal. Dibuat dari beras yang dimasak pakai santan dan garam, dibungkus dua lapis daun pisang, lalu dikukus sampai matang sempurna. Rasanya gurihnya nempel banget, aromanya harum, dan teksturnya padat tapi nggak keras. Biasanya disajikan bareng coto Makassar, opor ayam, atau sambal goreng hati.
Nah, di Kalimantan Selatan, khususnya di daerah yang banyak dihuni keturunan Bugis, ada juga versi lokal yang dikenal dengan nama Burasa Banjar. Secara bahan mirip, tapi kadang ada tambahan bumbu lokal seperti bawang putih dan rempah-rempah ringan yang bikin rasanya sedikit berbeda. Bungkusnya juga bisa beda bentuk, tergantung kebiasaan daerah.
Masuk ke zaman sekarang, kreativitas anak muda dan UMKM bikin buras makin beragam. Sekarang kamu bisa nemu buras isi abon sapi, ayam suwir, bahkan ikan cakalang asap. Buat yang vegetarian, ada juga buras isi jamur atau tahu berbumbu, cocok buat kamu yang cari versi sehat dan ramah vegan.
Serunya lagi, beberapa UMKM bahkan udah jual buras beku siap kukus, jadi kamu bisa nikmatin buras kapan aja tanpa ribet bungkus-membungkus.
Dari tradisional sampai modern, satu hal yang nggak berubah, buras tetap jadi makanan penuh makna, yang menghangatkan perut sekaligus hati.
Buras dan Lebaran: Cerita dari Kampung
Buat orang Bugis, Lebaran tanpa buras itu kayak sayur tanpa garam ada, tapi hambar. Nggak heran, buras selalu jadi menu wajib yang disiapin jauh-jauh hari. Tapi bukan cuma soal makanannya, yang bikin buras spesial itu proses bikinnya yang penuh cerita dan kebersamaan.
Biasanya dua atau tiga hari sebelum Lebaran, dapur rumah mulai ramai. Ibu-ibu dan tante-tante ngumpul, anak-anak gadis bantu potong daun pisang, cuci beras, atau sekadar duduk sambil ngerumpi. Suasana hangat khas kampung muncul begitu saja. Di beberapa keluarga, bahkan tradisi ini jadi momen tahunan yang ditunggu-tunggu, semacam reuni sebelum silaturahmi Lebaran resmi dimulai.
Kalau belum bikin buras bareng keluarga, rasanya belum Lebaran, kata Bu Halimah, warga Soppeng yang udah puluhan tahun jadi ‘komandan buras’ di rumahnya.
Anak-anak pun punya tugas sendiri, biasanya ngebantu ikat buras dua-dua, atau sekadar cicipin coto yang udah mulai dimasak. Kadang ada yang ketawa-tawa karena bungkusannya robek, ada yang saling protes karena santannya kebanyakan. Tapi justru di situlah rasa rumah itu muncul.
Waktu Lebaran tiba, buras yang udah dikukus rapi itu disusun di atas nampan, siap jadi bintang meja makan. Baunya wangi, rasanya gurih, dan setiap gigitannya selalu mengingatkan kita ke kampung, ke keluarga, ke tawa-tawa di dapur kecil menjelang Lebaran.
Kalau kamu punya kenangan sendiri tentang buras di rumah atau kampung halaman, boleh banget lho cerita di kolom komentar. Siapa tahu ada kisah yang bikin kita sama-sama senyum-senyum sendiri.
Lebih dari Sekadar Gurih
Buras itu bukan cuma makanan, tapi bagian dari cerita hidup banyak keluarga Bugis. Dari dapur yang ramai menjelang Lebaran, tangan-tangan yang saling bantu bungkus daun pisang, sampai tawa yang mengiringi proses panjangnya, semua jadi kenangan yang nggak bisa dibeli.
Rasa gurih dan aromanya memang khas, tapi yang bikin buras benar-benar istimewa adalah nilai kebersamaan yang dibawanya.
Yuk, Cerita & Bagikan
Punya pengalaman makan buras saat Lebaran? Ceritain di kolom komentar ya. Cerita kamu bisa jadi pengingat hangat buat yang lain.
Dan jangan lupa, share cerita tentang buras ini ke keluarga dan teman-temanmu. Supaya makin banyak yang kenal dan cinta sama kekayaan kuliner khas Bugis.
Gabung dalam percakapan